THARIQAH TERAKHIRKU, MAJLIS TAKLIM IBU-IBU DI DESA
Suhartutik
Desa adalah satu-satunya keputusanku untuk
tinggal, menetap dan berkarya. Entah
mengapa namun bagiku seolah pertahanan terakhir perempuan , apalagi pada zaman
yang serba cepat atau milenium ini, perempuan-perempuan di hadapkan berbagai bentuk benturan eksistensi dan
pertahanan ekonomi. Sebab itu, pilihanku untuk tetap tinggal di desa membawa
keberuntungan, setidaknya bagiku dan keluargaku. Namun latar belakang
pendidikan dan pekerjaan terkadang membuatku ingin keluar dan berkelana layaknya
burung yang terbang bebas mengepakkan sayap-sayap indah yang terus tumbuh
berkarya di circle yang mendukung,
Suatu hari datanglah beberapa ibu ke
rumah, kami berbincang berbagai hal
tentang kehidupan. Mulai dari urusan rumah tangga, bagaimana mengurus
anak-anak, sampai urusan relasi domestik rumah tangga seperti, para suami yang
suka bertingkah kasar, maunya sendiri, bahkan berselingkuh. Pada saat itu, aku
merasa bahwa sangat mungkin hal-hal yang seperti itu terjadi juga pada rumah
tanggaku. Pada saat yang bersamaan, aku menyadari satu hal, bahwa kami,
perempuan, layaknya laki-laki harus berkomunal untuk sekedar saling menguatkan
diri. Namun begitu, tak lantas mudah menemukan sebuah solusi agar komunitas itu
terbentuk. Sebab lagi-lagi di sini adalah desa. Waktu kami habis di sawah,
tegal dan dapur. Orang bekerja dengan jam kantor atau pemerintahan hampir tak
ada selain aku.
Seorang yang berusia tujuh tahun di
bawahku, memberanikan diri mengajukan pilihan. Saat itu dia datang ke rumah
lalu mengusulkan perkumpulan ibu-ibu yang biasa ada di desa-desa, yaitu
kelompok arisan dan mengaji al-quran. Aku hanya mengiyakan namun belum
memutuskan. Aku masih bimbang, perkumpulan seperti apa yang harus kami bentuk
untuk menjadi sebuah kekuatan diri sebagai perempuan dengan berbagai beban
sosial dan problem rumah tangga.
Perekonomian kami, sejujurnya tak ada yang mengkhawatirkan. Kami semua merdeka
diatas kaki kami sendiri tanpa harus menjadi karyawan di toko-toko milik orang
Cina. Rata-rata dari kami adalah petani, punya sawah, ladang dan lahan-lahan
kosong di sekitaran rumah kami. Sedikit dari orang-orang desa yang menjadi
buruh tani. Secara ekonomi tak butuh kekuatan lebih dari kekuatan yang sudah
dimiliki para perempuan di sini. Namun semenjak aku menikah dengan seornag Kyai
aku menyadari satu hal, desa kami adalah desa abangan. Tak banyak dari
perempuan-perempuan dan ibu-ibu yang menguasai Tarbiyyah Islamiyyah. Tak
terlepas itu adalah aku.
Seminggu kemudian, setelah usulan datang
kepadaku. Aku mendiskusikannya dengan suamiku. Dia tak menunjunjukkan sikap
pesimis, tentu aku meminta izin kepadanya. Suamiku adalah seorang yang feodal.
Segala yang kulakukan harus berdasarkan izin dan perintahnya. Dia seorang suami
penganut, bahwa istri harus melayani. Namun bukan penganut istri tetap di
rumah, duduk manis dan tidak bertanggung jawab mencari nafkah. Sebaliknya, aku
menjadi peran ganda dalam urusan domestik dan di luar rumah. Biarlah, semua itu
sudah terlanjur, satu-satunya kekuatanku adalah perkumpulan ibu-ibu yang sudah
tekad akan aku bentuk bersama yang lain.
Seminggu setelah Mbak Ning datang kerumah, aku
telah memutuskan. Waktu itu, aku menuju rumahnya berjalan kaki, dan betul
dugaanku, selagi aku berjalan aku membaca Allahumma
Yassir Wala Tu’assir. Segalanya dimudahkan saat itu juga, Mbak Ning
mengabarkan kepada seluruh ibu-ibu di desa. Kegembiraannya begitu terlihat saat
berjalan berkeliling menyampaikan kabar. Minggu itu juga perkumpulan ini
dimulai, yaitu Majelis Taklim Miftahul Amal.
Apakah semua baik-baik saja? Tentu tidak.
Desa kami adalah desa abangan. Dua puluh
tahun lalu, belum ada warga desa yang Islamnya begitu kental kecuali suamiku.
Meskipun aku akhirnya menyadari hari ini, bahwa sebenarnya, mereka hanya tak
mengerti teori dan dalil Islamnya secara syariat. Namun secara thariqah, secara
laku, mereka jauh sudah melakukan nilai-nilai keislaman. Itupun tak semua warga
desa hanya mungkin 40 % yang demikian. Sedangkan 60% lainnya ada yang tidak peduli dengan kehadiran
Majelis Taklim ada yang nyinyir, bahkan ada yang berlebihan menjadi provokator
kemudian terjadilah demonstrasi warga desa di depan musola kami. Tentu dengan
retorika politis yang lagi-lagi kekhawatiran mereka soal uang dana desa.
Entahlah, itu terjadi puluhan tahun lalu. Aku sudah melupakannya meskipun saat
mengingatnya aku kembali terluka. Sebab analisa singkat itu, akhirnya aku
memulai Majelis Taklim dengan pembelajaran baca dan tulis Al-qur’an kemudian di
akhiri dengan beberapa menit Mauidho
Hasanah atau semacam bimbingan muhasabah dan refleksi diri berdasarkan pada
ayat-ayat Al-qur’an.
“Sepertinya, kita akan banyak penolakan
dari warga karena kegiatan kita menggunakan speaker, bu Nyai.” Ujar salah seorang
anggota Majelis Taklim. Beberapa hari kemudian speaker di musola kami hilang.
Kejadian-kejadian serupa beberapa kali terjadi. Akhirnya aku membuat satu
siasat kecil, supaya kegiatan kami ini diterima dengan baik. Aku bersama para
ibu Majelis betul-betul membuat kegiatan ini menjadi ruang atau wadah yang
dapat memberi manfaat kepada siapapun. Dengan datangnya cobaan dan terpaan,
justru membuat kegiatan kami semakin jelas secara pengelolaan. Kami membuat
jadwal rutin mulai tahlil, dibaan, arisan, hingga santunan anak yatim. Tentu
kami membuat tabungan untuk kemudian dapat dipinjamkan tanpa bunga dan jaminan,
kepada anggota yang membutuhkan. Sebab kami sadar betul, sasaran koperasi
simpan-pinjam atau bank thithil kala
itu adalah warga-warga desa. Perjalananpun mengalami pasang surut, hinggga bisa
terpecah belah, sampai akhirnya kami bangkit lagi. Akhirnya tersaringlah para
ibu yang benar-benar mau menimba ilmu dengan ibu-ibu yang sekedar ikut
kumpul-kumpul saja.
Majelis taklim yang sudah berjalan selama 20 tahun
telah memberi perubahan peradapan masyarakat yang tadinya daerah abangan
di mana masyarakat belum mengenal agama secara menyeluruh, banyak masyarakat
belum menjalankan kewajibannya sebagai seorang Muslim. Berkat perjuangan
ibu-ibu yang terkumpul dalam sebuah wadah
majelis taklim memberi warna tersendiri dalam kehidupan. Peran ibu dalam
rumah tangga sangatlah penting, dia harus mampu mendidik anak-anaknya agar mempunyai
iman yang kuat, cerdas, bermoral, sehat jasmani dan rohanimya dan mempunyai kepribadian yang baik, diapun harus mampu menjadi
manager, mengelola sebuah rumah
tangga bahkan dalam keuangan. Oleh karena itu seorang ibu harus terus menerus
mendapatkan ilmu tidak hanya ilmu agama saja, tetapi kelihaian dan keterampilan
dalam mengurus urusan apapun dalam kehidupan ini.
Sebenarnya, inilah yang kuhadapi. Mereka,
ibu-ibu majelis ta’lim, telah membuatku menjadi kuat dan tegar. Dengan adanya
mereka, Allah seakan terus mengingatkanku untuk menjadi teladan, contoh, dalam
hal apapun yang terlihat di depan mata mereka. Namun tak dapat kupungkiri,
terkadang aku tampak kesakitan dan menangis di hadapan mereka. Sesekali aku
lelah, aku tak berdaya, aku ingin berhenti bahkan dengan nafasku sendiri.
Sebesar apapun problematika hidupku di luar sana, tak kalah menyakitkan dengan
problem rumah tangga. Ya, ini lah yang sedang kuhadapi! Aku tak tahu harus
memulainya dari mana, aku tak dapat menyebutnya sebagai apapun itu selagi dia
menjadi suami sah ku. Bukan tak berani, aku hanya tak bisa menyebutnya. Tepatnya,
aku seperti robot, siang-malam bekerja, hasilnya dia yang menikmati.
Bahkan, soal uang, aku tampak seperti
kartu non limit baginya, atau itu hanya perasaanku? Entahlah, sekian puluh
tahun hidup macam ini telah kujalani. Bahkan dia tak pernah tahu kapan perutku
bunyi menahan lapar sebab bekerja. Mungkin lebih tepatnya aku sedang mengeluh
kepada Tuhan, saat pagi sampai sore aku harus melayani negara dengan menjadi
pegawai negeri sampai rumah aku harus menyiapkan segala pelayanan untuk suami.
Malam hari harus bekerja lembur menyiapkan administrasi-administrasi pesantren
yang suamiku bangun. Pertanyaanku dari dulu hingga sekarang hanya satu, seperti
inikah kehidupan rumah tangga para Kyai? Atau suamiku saja yang tak tau bagaimana
memuliakan isterinya? Ah, rasanya tidak mungin dia tak tahu. Atau mungkin dia
tak mau? Besar kemungkinan begitu. Sampai saat inipun aku tak tahu apakah aku
ini termasuk perempuan yang beruntung ataukah perempuan yang paling menderita.
Banyak orang berkomentar bahwa aku ini adalah wanita yang beruntung, hidup berkecukupan walaupun aku tidak pernah tampil
glamor layak nya ibu Nyai Zaman sekarang.
Banyak pengalaman pahit yang di alami oleh
seseorang yang justru tidak membuat dia terpuruk, tetapi malah membuat dia
harus bangkit berdiri tegak. Hal ini terjadi karena lingkungan yang
membentuknya, pola fikir dan pola pandang dalam menghadapi segala permasalahan
yang terjadi. Sakit hati dan pahit kehidupan mejadikan hidup semakin bermakna.
Apakah aku salah menyimpulkan tentang kehidupan? Bagaimana tidak, kini suamiku
menikahi wanita lain tak haya satu perempuan, tapi beberapa perempuan di luar
sana. Dan aku harus tampak baik-baik saja di depan ibu-ibu Majlis Taklim.
***
Malam itu, hujan deras mengguyur musola kami. Angin kencang menyibakkan
tirai-tirai. Kami mulai melantunkan Asmaul Husnah, disusul dengan manaqib syeh
Abdul Qadir Jaelani. Bersamaan dengan itu semua, para ibu-ibu Majelis Taklim
berduyun berdatangan, membawa ketan tetel, roti, krecek dan juga jajanan untuk
mengaji lainnya. Selang beberapa menit, handphoneku berbunyi pesan dari
seseorang yang tak kukenal. Mengirimkan sebuah foto bukti chatting dan beberapa gambar suamiku dengan keluarganya yang lain.
Aku menangis, dadaku sesak. Entah aku mencintainya lagi atau tidak namun hal
ini menyakitkan ketika suamiku juga harus memerasku untuk bekerja keras
menopang keluarganya yang lain.
Ibadallah rijalaallah
Aghistuna li ajlillah
Wa kunnu aunana lillah
Asa nahda bi fadhlillah
…
Bacaan manaqib terus terlantun bersama
hatiku yang remuk, seketika aku memutuskan sesuatu dalam hidupku. Aku akan terus melanjutkan perjuanganku di
Majelis ini. Karena ini satu-satunya thariqah-ku yang terlepas dari maksiat dan
intervensi suamiku. Tanpa mereka, ibu-ibu majelis taklim di desa ini, aku
hanyalah seorang perempuan yang tak berdaya.
Blora, 1 September 2020
Penulis, Suhartutik, S.pd, M.pd, adalah seorang
Pegawai Negeri Sipil di lembaga Dinas Pendidikan Blora. Selain berkarir di
bidang pendidikan, dia juga mengabdikan diri di bidang sosial dengan membentuk
kelompok-kelompok pengajian Ibu-Ibu majlis Ta’lim di Blora. Banyak prestasi dan
kegiatan progresif yang diraih oleh
kelompok yang dibentuknya. Baginya, hidup adalah untuk belajar, mengabdi, dan
berbakti kepada Allah, Alam semesta, dan
sesama manusia.
Komentar
Posting Komentar